Webinar “Pelayanan Publik dan Keadilan Sosial” Pembicara Prof. Dr. H. Hanif Nurcholis, M.S.i
Webinar “Pelayanan Publik dan Keadilan Sosial”
Pembicara 1: Prof. Dr. H. Hanif Nurcholis, M.S.i (Dewan Pembina Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara)
Pembicara 2 : Dr. Tomi Setiawan (Dosen Administrasi Publik Fisip Unpad
Waktu : Hari Jum’at 26 November 2021, Jam : 14:00 – 16:00
Link Zoom :
Webinar ANN: Islam dalam Penyelenggaraan Negara
25 Februari 2023 by Dindin Makhmuddin • Agenda, Berita, webinar •
ISLAM FOR PUBLIC ADMINISTRATION Part 2
Narasumber:
Dr. Tomi Setiawan, S.IP., M.Si
Dr. Erwin Permana, SP., ME
Kamis, 23 Februari 2023
19.00 WIB
Akademia Noto Negoro (ANN) kembali menyelenggarakan webinar pada Kamis, 23 Februari 2023. Kali ini merupakan lanjutan dari webinar sebelumnya, dan mengambil tema “Islam untuk Penyelenggaraan Negara (Bagian-2)”. Hadir sebagai narasumber yaitu Dr. Tomi Setiawan, S.I.P., M.Si dari Universitas Padjajaran dan Dr. Erwin Permana dari Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA), serta dipandu Rendi Afrineldi dari Magister Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM.
Webinar diawali penyampaian materi Dr. Tomi Setiawan. Ada 3 poin utama yang disampaikan yaitu Islam sebagai pandangan hidup, Islam adalah rahmat bagi semesta alam, dan Islam untuk administrasi negara. Dr. Tomi menjelaskan Islam sebagai pandangan hidup, bertumpu pada konsep berupa pemikiran yang mendasar, tidak dibangun berdasarkan pemikiran lain, atau dalam istilah politik merupakan sistem ide yang menyangkut filsafat, ekonomi, politik, maupun kepercayaan sosial. Hingga saat ini pandangan hidup atau ideologi yang berkembang luas dan banyak diaplikasikan meliputi kapitalisme, sosialisme, dan Islam. Ketiganya memiliki karakteristik masing-masing dan perbedaan yang sangat signifikan. Ditinjau dari sisi aqidah, kapitalisme mengakui adanya Tuhan yaitu Allah, namun menolak aturannya; sosialisme tidak mengakui keberadaan Tuhan dan menolak aturannya; sementara Islam mengakui adanya Allah dan tunduk terhadap aturannya.
Ditinjau dari sistem yang dianut, kapitalisme menerapkan sistem pemerintahan demokrasi liberal dan ekonomi liberal; sosialisme menerapkan sistem pemerintahan berupa sistem demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin; sedangkan Islam menerapkan sistem khilafah dan ekonomi Islam. Saat ini telah muncul dan mulai bangkit berupa kesadaran akan manfaat dari ideologi Islam, yang didukung dengan fakta bahwa ideologi sosialisme-komunisme telah hancur dan sistem kapitalisme juga gagal dalam menyejahterakan manusia dan memanusiakannya. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa Islam bukan sekedar agama ritual, melainkan sebuah ideologi.
Berikutnya, Dr. Tomi memaparkan bagaimana syariat Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam. Syariat secara bahasa merupakan jalan lurus (at thariq al mustaqim) dan menurut istilah syar’iy merupakan peraturan yang diturunkan Allah SWT bagi hamba-Nya, baik untuk persoalan akidah, akhlak, mu’amalah yang meliputi pemerintahan, pendidikan, ketenagakerjaan, peradilan, sumberdaya alam, pengentasan kemiskinan, politik luar negeri, untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tegaknya aturan tersebut akan membawa kehidupan menuju masyarakat madani yang beradab dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Bagaimana Islam menjadi rahmat bagi semesta alam? Ini terwujud manakala Rasulullah Muhammad SAW mengimplementasikan seluruh risalah Islam dalam realitas kehidupan, bukan hanya bagi umat Islam melainkan juga untuk seluruh umat manusia. Faktanya dapat dilihat bagaimana umat non-muslim begitu diperhatikan, tidak mendapat diskriminasi, sama dihadapan hukum, dan sama dengan umat muslim pada saat itu.
Kesamaan di mata hukum dapat dilihat dari sejarah kasus baju besi amirul mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r,a, Khilafah tidak diam dengan adanya kezaliman. Pada akhirnya, syariat Islam merupakan pilihan yang rasional untuk diimplementasikan guna mengubah kezaliman menjadi keadilan, menyingkirkan kejahiliyahan dan mendatangkan cahaya Islam.
Pada akhir paparan disampaikan terkait syariat Islam bagi administrasi negara. Dalam konsep administrasi negara menurut Islam, kepemimpinan merupakan poin utama. Kepemimpinan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan baik kepada umat maupun nanti kepada Sang Pencipta, Allah SWT kelak. Sehingga, jabatan sebagai pemimpin dipandang bukan sebagai sarana untuk mencapai kepentingan pribadi, keluarga, ataupun kelompok pemegang kekuasaan. Islam justru memandang jabatan sebagai sarana untuk mengatur urusan masyarakat melalui penerapan hukum Islam sehingga pemimpin dalam Islam diwajibkan bertanggung jawab dan amanah. Tentunya, ini berkebalikan dengan hakikat jabatan dalam pandangan kontemporer, dimana jabatan berkaitan dengan kekuasaan yaitu cara-cara mencapai keinginan kelompok sesuai dengan kepentingan kelompok, atau dikenal dengan pembagian kekuasaan. Seorang pemimpin dalam Islam juga memiliki misi mulia yaitu menegakkan syariah dan mendukung dakwah. Maka, kunci administrasi negara dalam Islam terletak pada pemimpinnya.
Paparan dilanjutkan oleh narasumber ke-2 yaitu Dr. Erwin yang fokus menyampaikan bagaimana Nabi Muhammad SAW mempersiapkan fondasi dakwah dalam rangka membentuk daulah Islamiyah (marhalah dakwah). Ada 3 tahapan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Pertama fase pembinaan. Pada fase ini merupakan proses internalisasi pemikiran, standarisasi, dan tata nilai Islam, sekaligus menciptakan pembinaan umum di tengah-tengah masyarakat. Kedua fase berinteraksi dengan masyarakat. Fase ini diawali dengan mengungkapkan pemikiran, standarisasi, dan tata nilai yang bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam serta mengungkap persekongkolan pihak-pihak yang memusuhi Islam dan kaum Muslim (thalabun nushrah). Fase ketiga penyerahan kekuasaan. Fase ini ditandai dengan permintaan dukungan dan kekuasaan kepada kelompok maupun individu yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, hingga kemudian Islam berdiri dan berjaya dan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan serentak di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Fase-fase tersebut dipraktikkan oleh Nabi ketika di Madinah. Rasulullah SAW membina para sahabat di rumah Al-Arqam, membenahi aqidah, dan membangun ketaatan kepada Allah dan Rasul, serta membentuk kelompok dakwah. Berikutnya, Nabi bersama para sahabat menyampaikan dakwah secara terang-terangan, dan menjelaskan keburukan sistem yang sudah mapan di Madinah untuk kemudian menanamkan ideologi Islam di masyarakat. Fase diakhiri dengan prosesi Bait Aqabah II dan Rasul menegakkan Daulah Islam di Madinah. Penegakkan ini diawali dengan cara membai’at seseorang yang akan menduduki jabatan Khilafah yang kemudian ditindaklanjuti dengan penerapan hukum Islam di dalam negeri dengan syami dan kamidan mengemban misi mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada akhir paparan, Dr. Erwin menjelaskan, untuk saat ini, karakter-karakter dakwah yang dapat diterapkan antara lain: fikriyah artinya melalui perubahan pemikiran), siyasiyah merupakan sisi politis karena akar masalah umat adalah persoalan politik, jamaiyyah yaitu melalui pengorganisasian sistem dan kepemimpinan khas jamaah Islam, la maddiyah yaitu bersifat non kekerasan namun tidak berarti tidak mengajarkan hukum potong tangan, rajam, jihad, dll, dan asasiyah yaitu bersifat mendasar untuk penyelesaian menyeluruh. Tentunya proses ini membutuhkan kesabaran, waktu, dan istiqamah.
Webinar dilanjutkan dengan sesi tanggapan. Salah satu peserta, Dr. Yacob menanggapi bagaimana Islam dalam administrasi negara di Indonesia. Disampaikan bahwa awal Indonesia berdiri hendak menerapkan syariat Islam secara penuh sebagaimana awal Piagam Jakarta dirumuskan, utamanya termaktub dalam sila pertama. Namun demikian, dengan mempertimbangkan berbagai hal, niat tersebut diurungkan. Lebih lanjut, peserta menyampaikan saat ini Indonesia merupakan negara yang bisa disebut menerapkan Islam transformatif. Hal ini dapat dilihat bagaimana nilai-nilai Islam diterapkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, peserta juga memberikan pandangan bagaimana sistem khilafah sampai saat ini belum dapat diterapkan di Indonesia. Sebagaimana fakta sejarah, Islam mengutamakan figur pemimpin, utamanya Nabi dan sahabat-sahabatnya yang mampu menerapkan syariat Islam secara penuh. Berbeda deangan saat ini dimana tidak ada figur pemimpin seperti mereka, justru saat ini jauh dari apa yang diteladankan. Selain itu, sistem pemerintahan suatu negara juga didasarkan ideologi negara tersebut. Sebagai contoh di eropa, yang menerapkan monarki maupun sistem parlementer yang dianggap sesuai bagi mereka.
Pendapat ini kemudian ditanggapi Dr. Tomi yang menyampaikan bagaimana justru Eropa mengalami masa-masa kegelapan (dark age) ketika menerapkan sistem tersebut yang di dominasi oleh Gereja. Sementara, sistem pemerintahan Islam dikenal sebagai sistem yang paling lama bertahan dan membawa kesejahteraan serta berkembangnya ilmu pengetahuan. Kemundurannya disebabkan oleh ditinggalkannya syariat-syariat Islam dan berkebalikan dengan era kegelapan Eropa yang justru ketika meninggalkan ajaran-ajaran Gereja, Eropa memasuki masa pencerahan (enlightment).
Terkait dengan figur pemimpin, memang benar ada yang namanya ideal. Namun demikian, yang wajib dilakukan adalah ikhtiar, soal hasil ada yang menentukan yaitu Allah SWT. Untuk Islam dalam demokrasi atau demokrasi dalam Islam, beberapa ulama ada yang mengharamkan, namun ada pula yang memberi ruang. Sebagai contoh bagaimana proses memilih pemimpin yang demokratis, jadi lebih menekankan pada proses demokratisnya yang sesuai syariat, bukan pada sistem pemerintahannya yang demokrasi.
Dr. Erwin juga menanggapi bagaimana Islam dengan demokrasi. Menurutnya tidak bisa dibandingkan antara sesuatu (syariat) yang datangnya dari Allah SWT dengan buatan manusia. Artinya jika ingin menerapkan sistem pemerintahan Islam maka harus kaffah.
Terkait dengan Islam transformatif, menurut Dr. Erwin perlu dilihat lebih dalam. Dalam Pancasila, aturan alkohol masih ada ruang diperbolehkan, sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, contohnya sumberdaya alam, seharusnya dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan masyarakat, namun saat ini berkebalikan, dimana hanya segelintir yang menguasai dan menikmati keuntungan.
Peserta lain menanggapi bagaimana situasi di dunia kampus yang saat ini para dosen berkiblat pada literatur barat. Sementara dosen yang menuliskan karya terkait administrasi negara dalam perspektif Islam masih jarang. Hal ini juga diperberat jika melihat bagaimana pemerintah belum maksimal memberikan layanan kepada masyarakat. Tidak jarang ditemukan masyarakat dipersulit dalam mengurus keperluannya kepada negara. Selain itu, antar ormas dibenturkan.
Apa yang perlu dilakukan sebagai awal perbaikan? Dapat dimulai dari kampus, bagaimana civitas akademik kembali pada Alqur’an dan hadist dan dalam pembelajaran materi perkuliahan memuat nilai-nilai Islam.
Hal ini ditanggapi Dr. Tomi yang menyampaikan bahwa tidak sepenuhnya seperti itu, berkiblat pada literatur barat, membandingkan negara satu dengan negara lain yang berbeda sistem pemerintahan, namun justru mengintroduksi nilai-nilai pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam. Ini bertujuan untuk meningkatkan khazanah pengetahuan para mahasiswa tentang sistem pemerintahan Islam.
Penanggap lain, Prof. Hanif mendorong kajian ilmiah, academic discourse seperti webinar ini perlu untuk terus dilanjutkan. Mengapa? Karena ilmu terus berkembang dan kajian-kajian juga semakin luas. Sebagaimana contoh dalam teori negara Islam mengenal diskriminasi kelas warga, yaitu warga kelas satu (pemimpin dan umat muslim) dan al-dzimmah yaitu komunitas non-muslim yang melakukan kesepakatan untuk hidup di bawah tanggungjawab dan jaminan kaum muslim.
Hal ini ditanggapai Dr. Erwin, bahwa konsep warga dalam Islam adalah sama, yaitu secara hukum atau menerima perlakuan, untuk zakat wajib bagi muslim sedangkan non-muslim tidak wajib, untuk bidang pendidikan, warga muslim dan non-muslim mendapatkan pendidikan gratis, dan aspek-aspek lain yang dapat dikatakan tidak ada perbedaan kelas.
Kasus lain yang menjadi bahasan adalah terkait badan yang mengelola zakat, infaq, dll.
Bagaimana yang ideal? Karena selama ini ada pandangan bahwa pengurus dan kelompoknya yang lebih banyak menikmati dibandingkan dengan kelompok yang justru seharusnya mendapatkan.
Menurut Dr. Erwin, dalam kasus zakat secara ideal, memang harus ada amil yang ditunjuk dan ditujukan bagi 8 golongan yang berhak, tidak boleh untuk yang lain. Implementasinya, negara justru “turut serta” yang dituangkan dalam Undang-Undang yang mewajibkan besaran zakat 2,5%. Bahkan untuk menjadi amil zakat, seorang PNS harus menjalani proses tertentu melalui berbagai ujian dan tahapan.
Setelahnya, daftar nama yang lolos ditetapkan oleh Bupati dan diajukan ke BAZNAS pusat untuk ditetapkan. Menurut Prof. Hanif ini yang disebut sebagai korporatisme negara (state corporatism) yaitu lembaga/organisasi sipil yang dibentuk oleh negara. Dulunya dibentuk oleh negara yang menganut sistem totaliter. Di Indonesia praktik korporatisme negara dapat dilihat pada adanya lembaga BAZNAZ, Pramuka, KNPI, dan desa yang berada diluar struktur negara.
Dalam closing statement, Dr. Tomi menyampaikan bagaimana dalam sistem pemerintahan Islam, semua harus tunduk pada syariat. Untuk dibahas dan menjadi perdebatan adalah penerapan nilai-nilai Islam secara utuh atau hanya sebagian dalam struktur bernegara, namun yang paling ideal adalah yang ditunjukkan pada zaman Rasul.
Dilanjutkan Dr. Erwin, yaitu pada realitas bahwa saat ini Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Berbagai masalah seperti pelayanan publik yang belum maksimal, pengangguran, mutu pendidikan yang mengutamakan materialistis. Tidak hanya Indonesia, bahkan dunia. Solusinya?
Pemerintahan berbasis Islam sangat dibutuhkan pada saat ini. Islam sebagai kebijakan publik, sebagai adminsitrasi negara, pemberi solusi atas masalah, ditunggu oleh dunia, karena sejarah telah membuktikannya. Upaya yang dapat dilakukan adalah membesarkan usaha-usaha yang dilakukan, selalu memperjuangkan, itu yang wajib dilakukan.
Pada closing statement Rendi sebagai moderator juga menambahkan, mengutip dari pidato Muhammad Natsir, Islam beribadah dibiarkan, Islam berekonomi diawasi, Islam berpolitik dicabut sampai ke akar-akarnya. Sebenarnya apa yang terjadi hari ini sudah pernah terjadi juga dahulu pada awal kemerdekaan bagaimana pergerakan Islam sangat tidak diberi ruang untuk mengelola negara ini. Menyambung apa yang disampaikan Dr. Erwin, setiap seratus tahun sekali akan ada tokoh-tokoh pembaharu Islam. jika terakhir Islam berjaya di Turki pada tahun 1924, seratus tahun semenjak itu yaitu 2024 maka kita sama-sama berharap Islam akan bangkit dan menjadi acuan hukum untuk mengelola negara, sehingga negara yang menyejahterakan semua rakyatnya akan terwujud.*** (Ril/Zul Marbun)
Sumber:
https://koranmedan.com/islam-dalam-penyelenggaraan-negara-bagian-2/